catatan hitam bung karno
Romusha adalah catatan hitam seorang Sukarno. Ribuan bahkan ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia yang begitu mencintai Bung Karno, mati dengan cara mengenaskan akibat sistem kerja paksa yang kejam zaman pendudukan Jepang. Ironis, karena justru Bung Karno yang ditugasi Jepang mendata dan “merayu” rakyatnya memasuki ranah kerja paksa yang mengerikan itu.
Bung Karno, dalam biografi yang ditulis Cindy Adams, mengakui itu semua dengan hati remuk. Bung Karno tahu para romusha yang dikirim ke Burma, hampir 99 persen mati. Ada yang mati kelaparan, mati disiksa, mati dipenggal kepalanya, mati di dalam gerbong kereta tertutup yang berisi ribuan romusha. Mereka dipaksa bekerja hingga tinggal kulit pembalut tulang.
Inilah pernyataan Bung Karno tentang romusha: “Sesungguhnya akulah –Sukarno– yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, ya akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha. Degn para wartawan, juru potret, Gunseikan –Kepala Pemerintahan Militer- dan para pembesar pemerintahan aku membuat perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang-kerangka-hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis-belakang, itu jauh di dalam tambang batubara dan tambang mas. Mengerikan. Ini membikin hati di dalam seperti diremuk-remuk.”
Bung Karno bukannya tidak menuai protes. Lima mahasiswa kedokteran yang juga aktivis pergerakan segera mendatangi Bung Karno, sesaat setelah gambar Bung Karno bersama romusha dan terkesan mendukung romusha tersebar di mana-mana. “Nampaknya Bung Karno tidak dipercayai lagi oleh rakyat. Cara bagaimana Bung Karno bisa menjawab persoalan romusha?” seorang mahasiswa membuka percakapan yang menegangkan.
Bung Karno menjawab, ada dua jalan untuk bekerja (menuju Indonesia merdeka). Pertama dengan tindakan revolusioner, yang menurut Bung Karno, kita belum siap. Jalan yang kedua adalah dengan bekerja-sama dengan Jepang sambil mengkonsolidasikan kekuatan dan menantikan sampai tiba saatnya ia (Jepang) jatuh. Saya mengikuti jalan kedua. Begitu kata Bung Karno.
Tidak puas dengan jawaban Bung Karno, mahasiswa lain menimpali, “Tapi kenapa Bung Karno sampai hati memberikan rakyat kita kepada mereka?”
Jawab Bung Karno, “Dalam setiap perang ada korban. Tugas dari seorang Panglima adalah untuk memenangkan perang, sekalipun akan mengalami kekalahan dalam beberapa pertempuran di jalan. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan. Kita berada dalam suatu perjuangan untuk hidup….”
Dalam dialog yang lebih lunak Bung Karno menjelaskan, langkah “kooperatif” dengan Jepang adalah untuk menjaga kepercayaan Jepang kepadanya sebagai pemimpin. Dan Sukarno tahu betul, saat itu sudah sangat dekat dengan pintu gerbang kemerdekaan. Terlebih setelah ia dan Hatta diterima Kaisar Tenno Heika, dan mendapat sinyal tentang dukungan Kaisar Jepang terhadap kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi, yang jelas Bung Karno banyak menuai kritik, hujatan, cacian, hinaan, dan berbagai tudingan negatif ihwal romusha. Bahwa kemudian berbagai kritik dan hujatan itu memudar, karena yang dikatakan Bung Karno memang benar. Setahun setalah “tragedi” Romusha, ia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Melepaskan derita rakyat Indonesia dari penjajahan laknat Belanda yang 3,5 abad, dan menyingkirkan penjajahan Jepang terkutuk yang 3,5 tahun.
0 comments:
Post a Comment